Selasa, 04 September 2012

Anak dan Istri Munir (juga kita) Masih Menunggu Keadilan


Selasa, 04 September 2012 | 08:00
Penulis: Ulin Yusron

Istri almarhum Munir, Suciwati dan Diva Suukyi (10 tahun) mengikuti aksi Kamisan ke 271 sekaligus memperingati hari penghilangan paksa di depan Istana Negara, Kamis (30/08/2012) 

Suciwati, Alif Allende dan Diva Suukyi masih menanti keadilan atas pembunuhan aktivis HAM Munir.
Gadis kecil itu berlari kecil ke penjual minuman. Sore itu meski tak terlalu terik, gadis kecil ini ingin membeli minuman segar untuk melepas dahaga. Mengenakan kaos dan celana warna biru, ia berada di antara puluhan orang yang sedang menggelar Aksi Kamisan yang ke-271 di depan Istana Negara, (Kamis, 30/08/2012).
Wajahnya mirip sekali dengan almarhum Munir, penegak hak azasi manusia yang dibunuh di atas pesawat. Wajahnya manis, berkulit sawo matang. Parasnya mirip sekali dengan Munir. Dialah anak kandung pasangan Munir - Suciwati. Nama lengkapnya Diva Suukyi. Saat peristiwa kelam yang mengubah seluruh kehidupan keluarga itu, Diva Suukyi baru berusia dua tahun dan kakak sulungnya, Alif Allende baru berusia enam tahun. 
Hingga delapan tahun tahun sesudah peristiwa yang menggemparkan itu, siapa sesungguhnya pembunuh Munir tak diketahui dengan jelas. Diva kini duduk di kelas 5 SD di Malang, sedangkan Alif kini berusia 14 tahun dan telah duduk di bangku SMP.  
Siang terik pukul 14.00 tanggal 07 September 2004, berita terbunuhnya Munir itu diterima Suciwati dari ujung telepon. Usman Hamid, yang waktu itu Koordinator Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengabarkan ihwal kabar meninggalnya Munir. 
“Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut-mulut mungil itu seakan bertanya pada Suci. Sementara Diva Suukyi, menatap penuh harap. Saat Suci menangis sejadi-jadinya, Diva kecil memeluk Suci. Tangan kecilnya melingkari tubuh Suci. ”Ibu jangan menangis. Jangan sedih,” kata-kata itu seperti diucapkan Diva di telinga Suci. 
Delapan tahun lalu Suci dan dua orang anaknya dipaksa kehilangan suami dan ayah mereka. Pembunuhan Munir menjadi skandal besar pemerintahan waktu itu. 
Suci dan kedua anak Munir tak bisa menerima kenyataan, ayah dan suaminya, mati dengan cara tidak wajar. Sudah bertahun-tahunmereka menuntut keadilan. Namun yang didapat adalah ketidakpastian. Waktu terus berjalan sementara dalang dan pembunuh sesungguh masih berkeliaran di sekitar kita.  Pengadilan hanya bisa menghukum Pollycarpus Budi Priyanto, pilot Garuda yang menuangkan arsenik ke minuman Munir di Bandara Changi Singapura, telah dihukum 14 tahun penjara.
Tapi Suci tak percaya Polly bekerja sendirian. Polly adalah mata rantai dari persekongkolan jahat penguasa yang ingin melenyapkan Munir. Sidang kasasi MA hanya bisa menjerat Pollycarpus. Tak ada tersangka lain! Muchdi Pr yang kala peristiwa itu terjadi menjabat sebagai Deputi Badan Intelijen Negara, yang sempat ditangkap dan didakwa menjadi otak pembunuhan Munir, telah dibebaskan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 31 Desember 2008.
Tembok keadilan terakhir hanyalah melalui jalur Peninjauan Kembali. Sayang, hingga kini Kejaksaan Agung belum mengajukan PK
Suci gusar. Demikian pula anak-anaknya. Diva saja yang masih anak-anak meragukan kalau cuma Polly yang menjadi pelaku peristiwa kejam itu. "Yang membunuh Abah yang aku tahu cuma Polycarpus, enggak tahu yang lainnya," kata Diva yang matanya menerawang ke atas. Senyum kecut ia lempar ke Ibunya, Suciwati yang berdiri di sebelahnya.
"Sampai sekarang jaksa agung belum mengajukan PK. Terakhir kita ketemu Mei. Mereka bilang mau ajukan novum tapi sampai sekarang belum. Padahal menurut kita novum itu sudah ada," ujar Suci kepada Beritasatu.com
Ada dua novum (bukti baru) yang sudah disampaikan oleh Kasum (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Pertama, Muchdi Pr memiliki alibi bahwa tuduhan ia menghubungi Polly melalui telepon tidak benar. Sebab saat itu dia ada di Malaysia. "Dia tunjukkan paspor. Dia bilang katanya ditugaskan ke Malaysia oleh BIN. Tapi ketika ketika kita melakukan gugatan melalui komisi informasi, pihak BIN menyatakan tidak pernah menugaskan ke Malaysia," terang Suci. Ada surat pengakuan dari Badan Intelijen Negara bahwa dari tanggal 6 sampai 12 September 2004 tidak ada surat penugasan Muchdi PR ke Malaysia. Kedua, adanya rekaman percakapan antara Muchdi PR dan Polycarpus.
Suci heran, bukankah kedua fakta itu bisa jadi novum. Sayang kejaksaan agung tak bergerak. Wakil Jaksa Agung  Darmono yang dihubungi melalui layanan pesan singkat, hingga Senin petang belum menanggapi masalah kelanjutan permohonan PK atas kasus pembunuhan Munir tersebut. Pada 14 Mei 2012, Darmono pernah menyatakan soal kemungkinan mengajukan PK itu tetap ada, namun dibicarakan terlebih dahulu melalui tim yang ada.
Bersandar Pada Kampanye #MelawanLupa
Dalam situasi seperti ini, Suci dan anak-anaknya tak berhenti merawat harapan dan optimisme. Suci pun tak berhenti menghubungi pihak kejaksaan agung untuk menanyakan kapan dilakukan Peninjauan Kembali. "Kita harus terus mendorong dan menanyakan ke pihak terkait. Saya sering telepon kejaksaan mengapa tidak segera dilakukan PK," ujar Suci.

Jalan lain yang dilakukan Suci adalah bergabung dalam kampanye melawan lupa. Kampanye melawan lupa, supaya kasus Munir segera dituntaskan. Juga kasus lain harus didorong untuk diselesaikan," kata Suci.

Kemajuan dalam kasus Munir memang belum ada sama sekali. Tapi sedikitnya, menurut Suci, makin banyaknya gerakan pemuda untuk meminta kasus itu dituntaskan adalah hal yang menggembirakan.  "Semakin banyak yang ikut kampanye melawan lupa. Ke depan mereka harus lenbih kritis untuk memilih pemimpin bangsa yang tidak punya sejarah kelam, berani melawan impunitas, berani memenjarakan atasan yang melanggar HAM. Anak muda harus memilih pemimpin yang tidak busuk," ujar Suci menaruh harapan pada pemuda.

Anak muda, kata Suciwati, harus terus diajak kampanye. "Kita bangsa pelupa. makanya ada kamisan sebagai cara melawan lupa bahwa ada persoalan bangsa yang belum diselesaikan, selalu ditumpuk hanya jadi filling. Sementara kita pernah terluka, luka itu belum terobati," ujar Suci.

Munir telah mewariskan kepada generasi muda saat ini yaitu melawan ketakutan. "Cak Munir memberi inspirasi untuk mendobrak ketakutan. Militer yang berkuasa dan menghegomini didobrak. Anak muda harus lebih berani mendobrak dan meneruskan apa yang dilakukan Cak Munir," kata Suci.

Sudah delapan tahun racun arsenik itu mematikan pejuang hak azasi manusia. Selama delapan tahun, gadis kecil Diva yang pintar berbahasa Inggris itu kehilangan ayah tercintanya. Ia tak pernah merasakan langsung pendidikan keberanian, seperti halnya Munir ajarkan kepada seluruh aktivis buruh, aktivis HAM dan kemanusiaan. 

Diva hanya menaruh harapan. Dalam keheningan setiap sholat lima waktu, Diva tak hentinya berdoa. "Abah sudah ada di kuburan, di alam kubur. Abah sudah meninggal. Semoga Abah masuk surga, diterima di sisi Allah dan diberi nikmat yang banyak," kata Diva dengan suara mantap.

Keadilan masih dinantikan. Agar Diva bisa bercerita kepada teman-teman sekolahnya siapa sesungguhnya pembunuh Abahnya. Suci, Alif dan Diva tak henti mengetuk pintu keadilan. Semoga didengar penjaga rumah keadilan.


:(
Munir... 
Munir Said Thalib... Akhirnya aku bisa lebih dalam mengenalmu. Akhirnya aku tau, seberapa besar perjuanganmu melawan ketakutan, ketidakadilan, untuk mewujudkan kebenaran...

Munir, membaca semua tentangmu saja bisa membuat mataku berair. Membaca sepucuk surat dari Goenawan Mohamad membuat dadaku sesak. Membaca semua yang selama ini orang-orang lakukan untukmu, membuat hatiku tersentuh. Ternyata kau begitu hebat Munir...

Bangsa tidak akan pernah lupa apa-apa yang telah kau lakukan untuk mereka. Terlebih mereka yang merasakan ketakutan dan ketidakadilan. Semoga pembunuh-pembunuhmu bisa cepat ditangkap, semua kejahatan mereka terungkap dan dihukum pancung. Kalo nggak bisa, biar aku aja yang kasih racun.

Tak akan ada lagi ketakutan, hanya ada mimpi perdamaian, hanya ada tentang kebenaran - (Masihkah Kita Takut - Amir S)


With ,
-lulu-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar