Jumat, 21 September 2012

Apa Kabar, Gendut?


Hey Gendut!

Sudah lama aku tak mendengar kabarmu. Sudah lama juga tulisanmu tak menghiasi inbox handphone-ku. Kamu sehat? Lagi sibuk ya sekarang ngurus skripsi? Ah tenang, aku yakin kamu pasti bisa melewatinya. Tidak ada yang tidak bisa kau lakukan. Kau selalu bisa melakukan semuanya, akupun takjub! Ah Gendut, apa kabar kau sekarang? Tidakkah kau merindukanku?

Sepertinya kau sudah melupakan aku. Karna kini kau tengah asyik menikamti indahnya hari bersama wanita pilihanmu, begitu pula aku. Betapa beruntungnya dia bisa menjadi milikmu. Betapa senangnya dia bisa menjadi penyebab dari tawamu. Betapa serunya dia bisa menjadi bagian dari hari-harimu. Tidak seperti aku, yang diam-diam mengendap-endap keluar dari dinding hatimu. Dan kini kita bahagia dengan hidup kita masing-masing.

Aku ingat, ketika kala itu tawamu masih menjadi alasanku untuk pergi kesekolah, berangkat les, dan.. sholat. Ah, dasar, seharusnya aku tidak melakukan tindakan bodoh macam itu. Aku tak pernah lupa sinar matamu ketika menatapku dengan lugu. Kau mengajarkanku banyak rasa. Dari rasa malu, bingung, canggung, berbohong pada perasaan sendiri, memendam, cemburu, enggan banyak komentar. Tapi sungguh kau adalah candu, candu untukku dan duniaku kala itu. Kau adalah penyebab mataku yang seringkali sembab, hanya karna waktuku melihatmu tak lagi banyak. Sekolah kita sudah berbeda dan waktu kita bertemu-pun hampir tak ada. Tentu saja kau tak merasakan apa yang kurasakan, juga tak memiliki rindu yang kusimpan rapat-rapat.

Aku sengaja menyembunyikan perasaan ini. Aku tidak ingin kita menjadi canggung. Melihatmu dari kejauhan saja, rasanya lebih dari sekedar cukup. Melihatmu tersenyum saja sudah membuat hatiku tenang. Kau, yang sering kikuk jika hanya berdua dengaku. Aku yang sering jadi berkeringat dingin jika kau ajak bicara aku. Semua memang terjadi begitu indah. Sayangnya terlalu banyak jarak yang membuat kita tak bisa bersatu. Terlalu banyak alasan klise yang membuat kita tak bisa bertemu. Yang membuat kita tak bisa jujur tentang semuanya.

Aku sudah menghabiskan seluruh tenagaku untuk bisa bernafas tanpamu, dan sepertinya itu berhasil. Walapun terkadang setiap malam kamu kembali bercengkrama dalam ingatanku. Pikiranku masih ingin menjadikanmu topik utama, hatiku masih membiarkanmu bertengger disana. Sedikit menyakitkan, memikirkanmu yang tak pernah sama sekali memikirkanku.

Gendut, kamu apa kabar? Kamu nggak mau tau gimana aku sekarang? Kita sungguh menyedihkan. Tak saling sapa, juga tak pernah bertukar kabar. Gimana kabarmu sekarang, Gendut? Ku harap kau dengar rintihanku. Rasanya tidak terlalu penting ya celotehanku ini. Tak apalah, toh kamu juga nggak akan pernah tau kan, ndut. Karna kamu memang tak pernah peduli. Menyedihkan memang.

Kini hidupku tak lagi seperti dulu, dan aku masih berusaha melupakan sosokmu yang tak akan pernah lagi terengkuh oleh pelukku. Aku cukup bahagia sekarang, menjalani desah-desah nafasku yang (selalu) berjuang untuk membuangmu dari pikiranku. Airmatapun kini tlah lelah menemaniku.

Terimakasih ya gendut! Karena sudah memberi warna dalam hidupku. Jika kelak kita berjodoh, kita pasti akan dipertemukan (lagi).

with ,
-lulu-

Jumat, 07 September 2012

Kata Terakhir itu, Menyerah


Sore yang muram tidak segemilang kemarin. Ingatkan ku pada peristiwa itu yang membawa duniaku suram, sejenak. Kamu, yang sangat menyayangi aku itu, tidak sehangat dulu. Sinar mata yang tidak secerah dulu, ketika memandangku. Sentuhan yang hambar membuatku sedikit bertanya, kamu kenapa? Ada apa dengan dirimu? Juga dengan tulisan-tulisan singkatmu untukku. Tak kutemukan lagi semburat kasih sayangmu, untukku. Ada apa denganmu?

Kuteguk secangkir teh tubruk kesukaanmu. Yah, hanya ingin mengenangmu saja, maka kurelakan bibirku ini menyentuh teh itu. Sore ini aku sendirian, sedikit menyeruput lagi teh tubruk itu. Gurat wajahku mengerut, teringat jawaban semua pertanyaanku selama ini. Ada apa denganmu? Apa yang salah denganku? Ternyata itu hanya pertanyaan bodohku yang sedari awal tidak tahu apa-apa. Jawaban atas apa-apa yang berubah pada dirimu. Pelukan yang tidak sehangat dulu, sentuhan yang begitu dingin, dan kecupan... yang hambar.

Aku tidak menyalahkan kamu atau gadis ‘itu’. Aku hanya menyayangkan semua kebohonganmu padaku. Begitu mudah kamu merobek semua yang ada. Setelah dua bulan yang indah kau nikmati bersamanya, hahaha... Aku hanya tersenyum tipis. Hari indahmu bersamanya, dengan menusukku dari belakang. Sudah hebat kau rupanya. Sudah merasa dewasakah jika kau lakukan semua itu? Hebat!

Lalu aku bertanya lantang padamu, mengapa kau lakukan itu padaku? Pada orang yang kau kasihi selama tiga tahun ini. Kau tidak berkata apa-apa, hanya diam, menundukkan kepala. Aku terus mendesak, dan kau menjawabnya...

Aku tidak punya cukup waktu untukmu...

Aku terlalu egois dan tak bisa menghargaimu...

Aku...


Entah apalagi jawaban-jawaban yang kau lontarkan. Saking banyaknya, sampai memory otak-ku tak cukup untuk merekamnya. Lalu kenapa hanya diam? Kenapa tidak kita bicarakan saja, sayang. Kenapa harus dibelakang, diam-diam menyakitiku. Untuk kedua kalinya kau menyakitiku dengan cara seperti ini. Apa?? Agar aku jera...??! Boy, wake up! Seperti kau tidak punya salah dan kekurangan saja... Cinta seharusnya tidak seperti ini. Cinta seharusnya bagaimana kita bisa bertahan, dengan kelemahan dan kelebihan kita, dalam suka dan duka... Dan aku tidak menginginkan perpisahan ini. Sama sekali tidak...

Tapi kau menginginkan ini semua... Kau yang memulai, dan kau juga yang mengakhiri. Hanya karena dia adalah perempuan-yang-baru-saja-kau-cintai, dengan mudahnya kau memilihnya. Tanpa mempertimbangkan aku yang hampir setiap hari mengasihimu. Seketika airmataku pun pecah kala itu. Aku tidak bisa apa-apa.

Aku mengadu pada Tuhan. Apa salahku hingga Dia lepaskan kau dariku? Apa mungkin Dia cemburu, karna aku lebih menyayangimu? Ya Tuhan, tidak bermaksud menduakanMu.. Aku mencintaiMu seutuhnya. Aku hanya berpikir dia adalah laki-laki yang Kau kirim untuk menjadi imamku kelak. Tapi ternyata skenarioMu tidak seperti apa yang aku pikirkan. Kau mengirimnya untukku, agar aku lebih mengerti bagaimana karakter seorang laki-laki. Agar aku lebih belajar lagi bagaimana cara mengasihi, berbagi, dan memahami satu sama lain, sebelum Kau mengirimku laki-laki yang tepat. Terimakasih Tuhan Yang Maha Baik. You’re the one and only, yang selalu tau apa-apa yang terbaik untuk umatnya. Aku tidak akan pernah menyesal berpisah dengannya. Kini senyumku pun lebih cemerlang dari sebelumnya. Terimakasih.

Seminggu berlalu... Hari dimana aku harus meninggalkan kota itu. Kota yang penuh kenangan tentangmu. Yang aku sendiripun, ingin menghapusnya, tapi sia-sia. Sekali lagi, kau menghubungiku dengan tulisan-tulisan singkat itu. Serasa sayur tanpa garam, apa ini? Rasanya aneh dan nggak enak. Kenapa masih menghubungi aku? Merasa bersalah? Oh terima kasih. Aku cukup tegar menghadapi semua ini, sekarang. Aku punya Tuhan, keluarga, dan sahabat-sahabat yang baik dan selalu ada disaat suka duka ku. Lalu aku matikan ponsel itu, membuka plug-nya, dan membuang kartu SIM yang ada didalamnya. Bukan tidak ingin berhubungan lagi atau memutus silaturrahmi, tapi aku belum siap dengan semua konsekuensinya. Luka ini belum sepenuhnya mengering, dan aku tidak ingin lebih terluka lagi, maaf...

Kini aku merasa lebih bebas. Meski kadang terdengar berita-berita tentangmu dan perempuan itu, yang sering menunjukkan kemesraan dimanapun berada. Aku tidak peduli. Meski banyak yang bilang, kau dan ‘dia’ hanya ingin diakui. Aku tidak peduli lagi, apapun tentangmu. Aku akan memusatkan semuanya untuk masa depanku. Supaya kelak, disaat aku sukses meraih semuanya, kau akan menyesal karna telah melepaskanku. Kelak...


Akhirnya tiba saat dimana aku harus menyerah. Tidak seperti dahulu, saat kau lakukan kesalahan itu, aku selalu mengharapkanmu kembali kepelukanku. Tidak untuk kali ini. Karna aku menyayangkan tenaga dan waktuku yang aku buang hanya untuk itu. Kini aku menyerah. Aku sudah ikhlas melepaskanmu. Hiduplah bahagia dengannya. Karna itu lebih baik...

Hhhhh... Sore kini menjadi senja, dan berganti jadi malam. Memang terasa sedikit lebih muram, pikirku. Karna aku teringat olehmu. Kali ini aku tidak menyayangkan waktu dan tenagaku. Bernostalgia itu menyenangkan. Mengingat tindakan bodohku dulu. Aku tersenyum tipis. Syukurlah kini bulan bersinar lebih terang. Aku sungguh tidak pernah merasa sebaik ini sebelumnya. Semuanya sudah ada digenggaman. Tinggal menunggu bintang yang akan setia menemani bulan.. Entah itu terlihat atau tidak. Tapi aku percaya, bintang itu selalu setia pada bulan.

Kata terakhirku, menyerah untukmu...

With ,
-lulu-

Selasa, 04 September 2012

Anak dan Istri Munir (juga kita) Masih Menunggu Keadilan


Selasa, 04 September 2012 | 08:00
Penulis: Ulin Yusron

Istri almarhum Munir, Suciwati dan Diva Suukyi (10 tahun) mengikuti aksi Kamisan ke 271 sekaligus memperingati hari penghilangan paksa di depan Istana Negara, Kamis (30/08/2012) 

Suciwati, Alif Allende dan Diva Suukyi masih menanti keadilan atas pembunuhan aktivis HAM Munir.
Gadis kecil itu berlari kecil ke penjual minuman. Sore itu meski tak terlalu terik, gadis kecil ini ingin membeli minuman segar untuk melepas dahaga. Mengenakan kaos dan celana warna biru, ia berada di antara puluhan orang yang sedang menggelar Aksi Kamisan yang ke-271 di depan Istana Negara, (Kamis, 30/08/2012).
Wajahnya mirip sekali dengan almarhum Munir, penegak hak azasi manusia yang dibunuh di atas pesawat. Wajahnya manis, berkulit sawo matang. Parasnya mirip sekali dengan Munir. Dialah anak kandung pasangan Munir - Suciwati. Nama lengkapnya Diva Suukyi. Saat peristiwa kelam yang mengubah seluruh kehidupan keluarga itu, Diva Suukyi baru berusia dua tahun dan kakak sulungnya, Alif Allende baru berusia enam tahun. 
Hingga delapan tahun tahun sesudah peristiwa yang menggemparkan itu, siapa sesungguhnya pembunuh Munir tak diketahui dengan jelas. Diva kini duduk di kelas 5 SD di Malang, sedangkan Alif kini berusia 14 tahun dan telah duduk di bangku SMP.  
Siang terik pukul 14.00 tanggal 07 September 2004, berita terbunuhnya Munir itu diterima Suciwati dari ujung telepon. Usman Hamid, yang waktu itu Koordinator Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengabarkan ihwal kabar meninggalnya Munir. 
“Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut-mulut mungil itu seakan bertanya pada Suci. Sementara Diva Suukyi, menatap penuh harap. Saat Suci menangis sejadi-jadinya, Diva kecil memeluk Suci. Tangan kecilnya melingkari tubuh Suci. ”Ibu jangan menangis. Jangan sedih,” kata-kata itu seperti diucapkan Diva di telinga Suci. 
Delapan tahun lalu Suci dan dua orang anaknya dipaksa kehilangan suami dan ayah mereka. Pembunuhan Munir menjadi skandal besar pemerintahan waktu itu. 
Suci dan kedua anak Munir tak bisa menerima kenyataan, ayah dan suaminya, mati dengan cara tidak wajar. Sudah bertahun-tahunmereka menuntut keadilan. Namun yang didapat adalah ketidakpastian. Waktu terus berjalan sementara dalang dan pembunuh sesungguh masih berkeliaran di sekitar kita.  Pengadilan hanya bisa menghukum Pollycarpus Budi Priyanto, pilot Garuda yang menuangkan arsenik ke minuman Munir di Bandara Changi Singapura, telah dihukum 14 tahun penjara.
Tapi Suci tak percaya Polly bekerja sendirian. Polly adalah mata rantai dari persekongkolan jahat penguasa yang ingin melenyapkan Munir. Sidang kasasi MA hanya bisa menjerat Pollycarpus. Tak ada tersangka lain! Muchdi Pr yang kala peristiwa itu terjadi menjabat sebagai Deputi Badan Intelijen Negara, yang sempat ditangkap dan didakwa menjadi otak pembunuhan Munir, telah dibebaskan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 31 Desember 2008.
Tembok keadilan terakhir hanyalah melalui jalur Peninjauan Kembali. Sayang, hingga kini Kejaksaan Agung belum mengajukan PK
Suci gusar. Demikian pula anak-anaknya. Diva saja yang masih anak-anak meragukan kalau cuma Polly yang menjadi pelaku peristiwa kejam itu. "Yang membunuh Abah yang aku tahu cuma Polycarpus, enggak tahu yang lainnya," kata Diva yang matanya menerawang ke atas. Senyum kecut ia lempar ke Ibunya, Suciwati yang berdiri di sebelahnya.
"Sampai sekarang jaksa agung belum mengajukan PK. Terakhir kita ketemu Mei. Mereka bilang mau ajukan novum tapi sampai sekarang belum. Padahal menurut kita novum itu sudah ada," ujar Suci kepada Beritasatu.com
Ada dua novum (bukti baru) yang sudah disampaikan oleh Kasum (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Pertama, Muchdi Pr memiliki alibi bahwa tuduhan ia menghubungi Polly melalui telepon tidak benar. Sebab saat itu dia ada di Malaysia. "Dia tunjukkan paspor. Dia bilang katanya ditugaskan ke Malaysia oleh BIN. Tapi ketika ketika kita melakukan gugatan melalui komisi informasi, pihak BIN menyatakan tidak pernah menugaskan ke Malaysia," terang Suci. Ada surat pengakuan dari Badan Intelijen Negara bahwa dari tanggal 6 sampai 12 September 2004 tidak ada surat penugasan Muchdi PR ke Malaysia. Kedua, adanya rekaman percakapan antara Muchdi PR dan Polycarpus.
Suci heran, bukankah kedua fakta itu bisa jadi novum. Sayang kejaksaan agung tak bergerak. Wakil Jaksa Agung  Darmono yang dihubungi melalui layanan pesan singkat, hingga Senin petang belum menanggapi masalah kelanjutan permohonan PK atas kasus pembunuhan Munir tersebut. Pada 14 Mei 2012, Darmono pernah menyatakan soal kemungkinan mengajukan PK itu tetap ada, namun dibicarakan terlebih dahulu melalui tim yang ada.
Bersandar Pada Kampanye #MelawanLupa
Dalam situasi seperti ini, Suci dan anak-anaknya tak berhenti merawat harapan dan optimisme. Suci pun tak berhenti menghubungi pihak kejaksaan agung untuk menanyakan kapan dilakukan Peninjauan Kembali. "Kita harus terus mendorong dan menanyakan ke pihak terkait. Saya sering telepon kejaksaan mengapa tidak segera dilakukan PK," ujar Suci.

Jalan lain yang dilakukan Suci adalah bergabung dalam kampanye melawan lupa. Kampanye melawan lupa, supaya kasus Munir segera dituntaskan. Juga kasus lain harus didorong untuk diselesaikan," kata Suci.

Kemajuan dalam kasus Munir memang belum ada sama sekali. Tapi sedikitnya, menurut Suci, makin banyaknya gerakan pemuda untuk meminta kasus itu dituntaskan adalah hal yang menggembirakan.  "Semakin banyak yang ikut kampanye melawan lupa. Ke depan mereka harus lenbih kritis untuk memilih pemimpin bangsa yang tidak punya sejarah kelam, berani melawan impunitas, berani memenjarakan atasan yang melanggar HAM. Anak muda harus memilih pemimpin yang tidak busuk," ujar Suci menaruh harapan pada pemuda.

Anak muda, kata Suciwati, harus terus diajak kampanye. "Kita bangsa pelupa. makanya ada kamisan sebagai cara melawan lupa bahwa ada persoalan bangsa yang belum diselesaikan, selalu ditumpuk hanya jadi filling. Sementara kita pernah terluka, luka itu belum terobati," ujar Suci.

Munir telah mewariskan kepada generasi muda saat ini yaitu melawan ketakutan. "Cak Munir memberi inspirasi untuk mendobrak ketakutan. Militer yang berkuasa dan menghegomini didobrak. Anak muda harus lebih berani mendobrak dan meneruskan apa yang dilakukan Cak Munir," kata Suci.

Sudah delapan tahun racun arsenik itu mematikan pejuang hak azasi manusia. Selama delapan tahun, gadis kecil Diva yang pintar berbahasa Inggris itu kehilangan ayah tercintanya. Ia tak pernah merasakan langsung pendidikan keberanian, seperti halnya Munir ajarkan kepada seluruh aktivis buruh, aktivis HAM dan kemanusiaan. 

Diva hanya menaruh harapan. Dalam keheningan setiap sholat lima waktu, Diva tak hentinya berdoa. "Abah sudah ada di kuburan, di alam kubur. Abah sudah meninggal. Semoga Abah masuk surga, diterima di sisi Allah dan diberi nikmat yang banyak," kata Diva dengan suara mantap.

Keadilan masih dinantikan. Agar Diva bisa bercerita kepada teman-teman sekolahnya siapa sesungguhnya pembunuh Abahnya. Suci, Alif dan Diva tak henti mengetuk pintu keadilan. Semoga didengar penjaga rumah keadilan.


:(
Munir... 
Munir Said Thalib... Akhirnya aku bisa lebih dalam mengenalmu. Akhirnya aku tau, seberapa besar perjuanganmu melawan ketakutan, ketidakadilan, untuk mewujudkan kebenaran...

Munir, membaca semua tentangmu saja bisa membuat mataku berair. Membaca sepucuk surat dari Goenawan Mohamad membuat dadaku sesak. Membaca semua yang selama ini orang-orang lakukan untukmu, membuat hatiku tersentuh. Ternyata kau begitu hebat Munir...

Bangsa tidak akan pernah lupa apa-apa yang telah kau lakukan untuk mereka. Terlebih mereka yang merasakan ketakutan dan ketidakadilan. Semoga pembunuh-pembunuhmu bisa cepat ditangkap, semua kejahatan mereka terungkap dan dihukum pancung. Kalo nggak bisa, biar aku aja yang kasih racun.

Tak akan ada lagi ketakutan, hanya ada mimpi perdamaian, hanya ada tentang kebenaran - (Masihkah Kita Takut - Amir S)


With ,
-lulu-



Sabtu, 01 September 2012

Sepucuk Surat Goenawan Mohamad Untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati



Jakarta, 10 September 2004
Sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati,
Kelak, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin baru akan bisa membaca surat ini, yang ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua: ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin adalah semacam doa: “Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini, biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menangkap gelap.”
Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari hidup. Kelam adalah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.
Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa. Seakan-akan tiap senjakala ia melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama bernama Kekerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga Keserakahan, dan yang keempat Kebencian. Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan.
Di negeri yang sebenarnya tak hendak ditinggalkannya ini, Nak, tak semua orang melawan. Bahkan di masa kami tak sedikit yang menyambut Empat Penunggang Kuda itu, sambil berkata, “Kita tak bisa bertahan, kita tak usah menentang mereka, hidup toh hanya sebuah rumah gadai yang besar.” Dan seraya berujar demikian, mereka pun menggadaikan bagian dari diri mereka yang baik.
Orang-orang itu yakin, dari perolehan gadai itu mereka akan mencapai yang mereka hasratkan. Sepuluh tahun yang akan datang kalian mungkin masih akan menyaksikan hasrat itu. Terkadang tandanya adalah rumah besar, mobil menakjubkan, pangkat dan kemasyhuran yang menjulang tinggi. Terkadang hasrat kekuasaan itu bercirikan panji-panji kemenangan yang berkibar?yang ditancapkan di atas tubuh luka orang-orang yang lemah.
Ya, ayah kalian melawan semua itu.Empat Penunggang Kuda yang menakutkan itu, hasrat kekuasaan itu, juga ketika hasrat itu mendekat ke dalam dirinya sendiri?dengan jihad yang sebenarnya sunyi. Seperti anak manusia di padang gurun. Ia tak mengenakan sabuk seorang samseng, ia tak memasang insinye seorang kampiun. Ia naik motor di tengah-tengah orang ramai, dan bersama-sama mereka menanggungkan polusi, risiko kecelakaan, kesewenang-wenangan kendaraan besar, dan ketidakpastian hukum dari tikungan ke tikungan. Mungkin karena ia tahu bahwa di jalan itu, dalam kesunyian masing-masing, dengan fantasi dan arah yang tak selamanya sama, manusia pada akhirnya setara, dekat dengan debu.
Alief, Diva, kini ayah kalian tak akan tampak di jalan itu. Ada yang terasa kosong di sana. Jika kami menangis, itu karena tiba-tiba kami merasa ada sebuah batu penunjang yang tanggal. Sepanjang hidupnya yang muda, Munir, ayahmu, menopang sebuah ikhtiar bersama yang keras dan sulit agar kita semua bisa menyambut manusia, bukan sebagai ide tentang makhluk yang luhur dan mantap, tapi justru sebagai ketidakpastian.
Ayahmu, Diva, senantiasa berhubungan dengan mereka yang tak kuat dan dianiaya; ia tahu benar tentang ketidakpastian itu. Apa yang disebut sebagai “hak asasi manusia” baginya penting karena manusia selalu mengandung makna yang tak bisa diputuskan saat ini.
Ada memang yang ingin memutuskan makna itu dengan menggedruk tanah: mereka yang menguasai lembaga, senjata, dan kata-kata sering merasa dapat memaksakan makna dengan kepastian yang kekal kepada yang lain. Julukan pun diberikan untuk menyanjung atau menista, label dipasang untuk mengontrol, seperti ketika mereka masukkan para tahanan ke dalam golongan “A”, “B”, dan “C” dan menjatuhkan hukuman. Juga mereka yang merasa diri menguasai kebenaran gemar meringkas seseorang ke dalam arti “kafir”, “beriman”, “murtad”, “Islamis”, “fundamentalis”, “kontra-revolusioner”, “Orde Baru”, “ekstrem kiri”?dan dengan itu membekukan kemungkinan apa pun yang berbeda dari dalam diri manusia.
Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan itu, ketidakadilan itu. Tak pernah terdengar ia merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegangan, dan ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, “Jangan kita jatuh ke dalam kelam!”
Tapi akhirnya tiap jihad akan berhenti, Alief. Mungkin karena tiap syuhada yang hilang akan bisa jadi pengingat betapa tinggi nilai seorang yang baik.
Apa arti seorang yang baik? Arti seorang yang baik, Diva, adalah Munir, ayahmu. Kemarin seorang teman berkata, jika Tuhan Maha-Adil, Ia akan meletakkan Munir di surga. Yang pasti, ayahmu memang telah menunjukkan bahwa surga itu mungkin.
Adapun surga, Alief dan Diva, adalah waktu dan arah ke mana manusia menjadi luhur. Dari bumi ia terangkat ke langit, berada di samping Tuhan, demikianlah kiasannya, ketika diberikannya sesuatu yang paling baik dari dirinya?juga nyawanya?kepada mereka yang lemah, yang dihinakan, yang ketakutan, yang membutuhkan. Diatasinya jasadnya yang terbatas, karena ia ingin mereka berbahagia.
Maka bertahun-tahun setelah hari ini, aku ingin kalimat ini tetap bertahan buat kalian: ayahmu, syuhada itu, telah memberikan yang paling baik dari dirinya. Itu sebabnya kami berkabung, karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan bisa menggantikannya. Tapi tak ada pilihan, Alief dan Diva. Kami, seperti kalian kelak, tak ingin jatuh ke dalam kelam.
Goenawan Mohamad
Majalah Tempo Edisi 29/XXXIII/13
19 September 2004

[Repost from dianparamita.com]  
With 
-lulu -