Jumat, 05 September 2014

Hujan Awal September


"Kamu sampe rumah jam berapa?"

"Sebentar lagi... Ini hari Kamis, hujan deras. Tau kan padatnya seperti apa?"

"Okay, aku tunggu. Aku sudah panaskan makan malamnya."

"Sabar ya, aku segera datang."

Kuletakkan ponselku tak jauh dari meja makan. Sudah hampir tiga jam aku menunggu suamiku pulang. Hari ini kubuatkan makan malam kesukaannya. Malam ini adalah perayaan hari jadi pernikahan yang keempat.

Sesekali kuperhatikan gerak jarum jam, mondar mandir dari ruang makan ke ruang tengah. Gusar sekali aku dibuatnya.

Rumah kami hanya terisi dua kepala. Tak ada tangis bayi atau gelak tawa balita. Hanya kami berdua. Tapi suamiku tak sekalipun mengeluh. Ia tak pernah bersedih atas kehendak Tuhan bahwa rahimku tak bisa memberinya keturunan. Kami berbahagi, walau hanya berdua.

"Sayang... tidurlah dulu, tak usah menungguku. Biarlah makan malammu dingin, asal tubuhmu tidak. Pasanglah sendiri selimutmu. Maaf malam ini kamu harus melakukannya sendiri bukan dengan tanganku. Aku takut tidak bisa sampai rumah tepat waktu. Tubuhku belum sampai, tapi hatiku sedang memelukmu sangat dalam. Selamat hari jadi yang keempat. Bahagialah selalu, karena kamu kucintai selamanya."

Pesan itu sampai di ponselku, menangisku dibuatnya. Bagaimana suamiku bisa mengetik pesan seindah ini.
Kepalaku batum masih kutunggu kedatangannya.

Sesekali menguap, memerhatikan jarum jam lagi, lagi... dan lagi.
Rupanya kantuk tak kunjung datang.


"....You know I can't smile without you,
I can't smile without you
I can't laugh and I can't sing
I'm finding it hard to do anything...."


Ponselku berbunyi,
Saat itu pukul 02.30. Cukup lama aku tertidur rupanya.
Hmmm, nomor penelpon tak kukenal. Tapi kuberanikan diri menerimanya.

"Assalammu'alaikum. Halo.. Siapa ini?"
"Wa"alaikumsalam. Benar ini dengan Ibu Aisyah, istri Bapak Yusuf?"

Tak kuasa aku mendengarkan suara disebrang sana.
Telepon itu dari Rumah Sakit Sultan Agung, tak jauh dari rumah kami.
Katanya suamiku ditemukan tewas di tempat, seketika saat ada truk dari arah berlawanan menabrak mobilnya. 

Suamiku yang paling kutunggu kedatangannya.
Suamiku akan duduk berdua menikmati masakanku.
Suamiku yang mencintaiku selamanya, bahkan kuyakin sampai ajal menjemputnya.

Tangisku pecah, lebih keras dari hujan yang jatuh di teras rumah.
Hujan di awal September ini begitu deras,
tapi jauh lebih deras lagi di sini, di hatiku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar